JAYAPURA.tabloidpapuabaru.com,- Tim Hukum dan Advokasi Gubernur Papua mendatangi
Gedung Merah Putih KPK, untuk menemui Pimpinan KPK, di Jakarta, pada Senin (10/10/2022).
Kedatangan tim yang bertindak sebagai kuasa hukum dari Yulice Wenda, istri Gubernur Papua
Lukas Enembe, dan Astract Bona Timoramo Enembe, anak Gubernur Papua Lukas Enembe, untuk
menyerahkan Surat Menolak/Mengundurkan Diri Menjadi Saksi Karena Undang-Undang, dari
kliennya (Yulice Wenda) dan Astract Bona Timoramo Enembe atas panggilan Penyidik KPK,
tertanggal 29 September 2022, dalam Kasus dugaan Tindak Pidana Korupsi berupa Penerimaan
hadiah atau janji Lukas Enembe selaku Gubernur Papua Periode 2013 – 2018 dan 2018 – 2023
terkait pekerjaan atau proyek yang bersumber dari APBD Provinsi Papua.
TIM HUKUM DAN ADVOKASI GUBERNUR PAPUA terdiri dari gabungan dari
Advokat di Jakarta dan Advokat di Papua. Adapun advokat yang melakukan pendampingan hukum
dan advokasi terhadap Gubernur Papua dan keluarganya adalah Dr. S. Roy Rening, S.H., M.H.,
Drs. Aloysius Renwarin, S.H., M.H., Petrus Bala Pattyona, S.H., M.H., Cosmas Refra, S.H., M.H.,
Yustinus Butu, S.H., M.H. Antonius Eko Nugroho, S.H., Petrus Jaru, S.H., Herman Renyaan, S.H.,
Suwahyu Anggara, S.H. M.H., Davy Helkiah Radjawane, S.H., Emanuel Herdyanto, S.H., M.H.,
Abdul Aziz Saleh, SH., M.H., Patrisius Pantry Belo Randa, S.H., M.H. , Yosef Elopore, SH., MH.,
Alberth E. Rumbekwan, SH., MH., Thomas CH. Syufi, SH., Elias Pekei, SH., Malpinus Keduman,
SH., dan Michael Himan, SH.
Menolak atau Mengundurkan diri menjadi Saksi Karena Undang-Undang.
Menurut Anggota TIM HUKUM DAN ADVOKASI GUBERNUR PAPUA (THAGP),
Petrus Bala Pattyona, SH., MH, secara yuridis, saksi Yulice Wenda, adalah istri sah dari Lukas
Enembe, dan Astract Bona Timoramo Enembe adalah anak kandung dari Lukas Enembe (yang
telah ditetapkan sebagai tersangka dalam dugaan penerimaan hadiah atau janji oleh penyidik
KPK), sehingga dapat menolak/mengundurkan diri menjadi saksi karena undang-undang,
sebagaimana diatur dalam Pasal 35 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi :
(1) Setiap orang wajib memberikan keterangan sebagai saksi atau ahli, kecuali ayah, ibu, kakek,
nenek, saudara kandung, istri atau suami, anak dan cucu dari terdakwa;
(2) orang yang dibebaskan sebagai saksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diperiksa
sebagai saksi apabila mereka menghendaki dan disetujui secara tegas oleh terdakwa
Hal tersebut diperkuat lagi dengan ketentuan Pasal 168 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
Tentang KUHAP : Kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini, maka tidak dapat didengar
keterangan dan mengundurkan diri sebagai saksi (a) keluarga sedarah atau semenda dalam
garis lurus keatas atau kebawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau Bersama-sama sebagai
terdakwa.
Dijelaskan Petrus Bala Pattyona, bahwa dengan memperhatikan ketentuan tersebut di atas,
dengan ini saksi Yulice Wenda, dan saksi Astract Bona Timoramo Enembe, menyatakan
menggunakan haknya yang diberikan oleh undang-undang, untuk menolak atau mengundurkan
diri sebagai Saksi. “Dan oleh karena itu, kami selaku Tim Hukum mohon penyidik sebagai
pelaksana undang-undang, untuk tidak memaksa dan/atau mengancam saksi Yulice Wenda dan
Astract Bona Timoramo Enembe, untuk memberikan keterangan dalam perkara a quo, yang diduga
dapat melakukan penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan secara melawan hukum/melanggar
undang-undang (abuse of power),” kata Petrus Bala Pattyona dalam rilis remi yang diterima media Online ini.
Pada kesempatan ini juga, Dr. S. Roy Rening menambahkan bahwa Tim Hukum juga
sudah bertanya langsung kepada Yulice Wenda terkait dengan dugaan pemberian gratifikasi
tersebut, dan saksi mengatakan, tidak mengetahui sama sekali perihal gratifikasi tersebut. “Saat
kejadian (pada hari diduga ada transfer uang pada 11 Mei 2020), saksi Yulice Wenda sedang
berada di Jakarta, karena menemani suaminya yang sedang sakit. Bagaimana bisa menjadi saksi,
kalau tidak melihat atau mengetahui langsung proses pemberian gratifikasi tersebut,” ujar Roy.
Sedangkan saksi Astract Bona Timoramo Enembe, juga tidak mengetahui sama sekali tentang dugaan
pemberian gratifikasi, karena pada saat dugaan pentrasferan dana satu millyard sedang berada di
Australia, untuk menyelesaikan kuliahnya. “Jadi memang tidak mengetahui sama sekali, adanya
dugaan gratifikasi tersebut. Karena saat kejadian, saksi Astract Bona Timoramo Enembe tidak berada
di kediamannya, di Papua, tetapi di Australia,” tukas Roy.
Dijelaskannya, berdasarkan Pasal 1 angka 26 KUHAP, definisi saksi adalah orang yang
dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan, tentang
suatu perkara pidana yang didengarnya, dilihatnya, atau dialaminya sendiri. “Patut digarisbawahi,
bahwa saksi itu melihat, mendengar dan mengalami sendiri tentang suatu perkara pidana. Jadi
bagaimana mungkin istri dan anak Gubernur Lukas Enembe, menjadi saksi, kalau tidak melihat,
mendengar atau mengalaminya sendiri?,” ujar Roy.
Kearifan Lokal Papua
Sedangkan alasan lainnya, berdasarkan keputusan keluarga besar dan masyarakat Adat Papua,
dimana Keluarga Lukas Enembe termasuk Kepala Suku terbesar di Papua, yaitu Suku Lanny, yang
telah melarang Yulice Wenda dan Astract Bona Timoramo Enembe, untuk pergi ke Jakarta, dan
harus menemai Lukas Enmbe yang sedang sakit serta tidak dapat meninggalkan tanah Papua.
“Karena mereka berdua itu merupakan satu kesatuan dengan Bapak Gubernur Papua Lukas
Enembe. Jadi tidak bisa dipisahkan. Ada kearifan lokal di tanah Papua, yang harus diperhatikan
penyidik KPK untuk memanggil Yulice Wenda dan Astract Bona Timoramo Enembe, sebagai
saksi ke Jakarta. Ini sudah merupakan keputusan masyarakat Adat Papua,” ujar Anggota THAGP
lainnya, Drs. Aloysius Renwarin, S.H., M.H.,
Dijelaskannya, berdasarkan adat budaya di Papua, jika terjadi peperangan, maka yang tidak
boleh disentuh adalah anak, perempuan (istri), orang tua dan orang yang sedang sakit. “Jadi secara
adat di Papua, dengan memperhatikan kearifan lokal yang ada, terhadap istri dan anaknya, tidak
dapat diganggu, dengan adanya pemanggilan KPK, dan dipisahkan dari Pak Lukas Enembe.
Apalagi saat ini, Gubernur Papua sedang sakit dan secara budaya harus dihargai. Terhadap
Gubernur Papua sendiri harus diberikan akses untuk pemulihan kesehatan termasuk dibuka
kembali rekening yang diblokir, supaya bisa dipakai untuk membiyai pengobatannya,” tukas
Aloysius.
Atas dasar alasan-alasan itulah, kedua saksi menyatakan menolak/mengundurkan diri
menjadi saksi karena Undang-Undang, dalam perkara dugaan gratifikasi Gubernur Papua Lukas
Enembe.
Selain itu, Aloysius juga menjelaskan, bahwa Lukas Enembe telah ditetapkan dan dilantik
sebagai Kepala Suku Besar Papua pada tanggal 08/10/2022 oleh Dewan Adat Papua (DAP) lewat
sidang resmi yang dihadiri Ketua Dewan Adat Papua dari tujuh wilayah adat yaitu (1) wilayah
adat Bomberay; (2) Wilayah adat Domberay; (3) Wilayah adat Mepago; (4) Wilayah Adat Lapago;
(5) Wilayah Adat Saireri; (6) Wilayah Adat Tabi; dan (7) Wilayah Adat Animha. Dengan
pengangkatan sebagai kepala Suku Besar ini segala masalah yang berhubungan dengan Lukas
Enembe harus diselesaikan dengan hukum adat dan dilakukan di para Adat disaksikan oleh dewan
Adat Papua dan masyarakat Papua tegas Aloysius.
Sikap Dewan Gereja Papua
Menurut Drs. Aloysius Renwarin, S.H., M.H., dalam pertemuan dengan Para Pimpinan
Gereja (Dewan Sinode Gereja se-Papua) di kediaman pribadi Gubernur Papua, beberapa waktu
lalu, pihaknya melihat kondisi Lukas Enembe, masih dalam keadaan sakit. “Berbicara masih sulit
terbata-bata, air liur masih keluar dari mulut, tangan gemetar dan duduk atau berdiri terlalu lama
tidak kuat. Hal itu terjadi karena beliau pernah mengalami stroke empat kali, operasi ginjal dan
operasi jantung. Selama ini melakukan pengobatan di Rumah Sakit Singapura dan setiap enam
bulan harus melakukan kontrol ke rumah sakit tersebut. Itu sebabnya, beliau menyampaikan
permohonan kiranya ada akses agar dokter dari Singapura bisa masuk ke Papua atau beliau ke
Singapura untuk melanjutkan pengobatan oleh dokter di rumah sakit tersebut,” ujar Aloysius.
Pihaknya sendiri meragukan kliennya (Lukas Enembe) dapat memberikan keterangan dalam
pemeriksaan KPK. “Karena stroke itu menyerang pusat otak klien kami. Bagaimana bisa berpikir
jernih, kalau pusat otaknya, yang diserang? Apalagi ini, sudah empat kali terkena stroke,” ujar
Aloysius. Bila KPK tetap memaksakan, untuk memeriksa kliennya dan melimpahkan kasusnya ke
pengadilan, pihaknya khawatir persidangan tidak akan berjalan mulus. “Karena terdakwa yang
dinyatakan sakit permanen akan dianggap tidak layak, untuk disidangkan atau unfit to stand trial.
Majelis hakim akan mengeluarkan penetapan untuk mengembalikan berkas perkara terdakwa
kepada penuntut umum,” ujar Aloysius.
Kejadian ini, pernah terjadi pada perkara mantan Presiden RI (alm) Soeharto. Saat itu,
penuntut umum tidak pernah bisa menghadirkan mantan Presiden RI tersebut, ke persidangan,
sehingga majelis hakim mengeluarkan sebuah penetapan, yang menetapkan bahwa penuntutan
perkara pidana Soeharto tak dapat diterima, membebaskan Soeharto dari tahanan kota,
mengembalikan berkas perkara ke Kejaksaaan Negeri Jakarta Selatan, dan mencoret perkara
pidananya.
Dengan kondisi Gubernur Papua, yang masih sakit, pihaknya berharap KPK tidak ‘ngotot’
untuk melakukan pemeriksaan kliennya dengan segera. Karena pada dasarnya, KPK memiliki
waktu penyidikan yang cukup. “Jadi untuk apa, memaksakan orang yang sedang sakit, untuk
segera diperiksa?,” ujarnya.
Dijelaskannya, Gubernur Papua sendiri berniat menjelaskan persoalan yang dituduhkan
kepadanya dihadapan KPK, hanya kondisinya masih sakit. “Kondisi itulah yang membuat
keluarga dan masyarakat berjaga dan tidak mengizinkannya keluar rumah,” tukas Aloysius.
Ditambahkannya, dalam pertemuan tersebut, Gubernur Papua sempat mengatakan, bahwa ada
keluarga yang menjaga di depan kediamannya dan mereka siap mati. “Menyikapi situasi tersebut,
Gubernur Papua menyampaikan hanya tokoh gereja yang bisa mencegah hal itu dan menjaga
Papua tetap aman supaya tidak terjadi konflik apalagi penumpahan darah,” kata Aloysius.
Selain menderita sakit kronis, kondisi keluarga Lukas Enembe semakin diperparah, karena
rekening atas nama isteri dan anaknya telah diblokir KPK. Akibatnya, anaknya yang sedang studi
di Singapura tidak bisa melanjutkan Pendidikan, dan sudah berada ada di Papua,” tukas Aloysius.
Ditambahkannya, Yulice istri Lukas Ebembe juga menyampaikan bahwa selama empat bulan
tidak lagi menerima haknya yakni gaji dari Pemerintah, padahal statusnya masih Gubernur Papua.
Lukas Enembe juga menyampaikan sikap herannya, atas penetapan tersangka kasus
dugaan gratifikasi, yang dituduhkan KPK terhadap dirinya. “Karena dalam pertemuan tersebut,
Gubernur Papua menyampaikan bahwa dalam kepemimpinannya, selama delapan kali,
mendapatkan hasil audit dari BPK dengan predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Menurut
klien kami, penetapan tersangka dugaan gratifikasi dan korupsi atas dirinya, sangat tidak masuk
akal,” ujar Aloysius.
Dalam pertemuan dengan 32 orang dari Pimpinan Dewan Gereja Papua (DGP), Pimpinan
dan Pengurus PGGP (Persekutuan Gereja-Gereja di Papua) serta Ketua dan Pengurus API
(Asosiasi Pendeta Indonesia) Provinsi dan Kota Jayapura, para pimpinan gereja tersebut
mendoakan kesembuhan Gubernur Papua. Usai bertemu dengan Gubernur Lukas Enembe, para
pimpinan gereja di Papua mengadakan rapat di Kantor Sinode GKI di Tanah Papua, dimana hasil
kesimpulan rapatnya, dijabarkan menjadi pernyataan bersama. Dimana isi pernyataan bersama
tersebut, diantaranya :
Pertama, Pimpinan gereja menegaskan bahwa siapapun yang ada di tanah Papua harus tahu
adat budaya, menghormati gereja dan hamba Tuhan. Terkait budaya di Papua, jika terjadi
peperangan, maka yang tidak boleh disentuh adalah anak, perempuan, orang tua dan orang yang
sedang sakit. Gubernur Papua sedang sakit dan secara budaya harus dihargai. Gubernur Papua
harus diberikan akses untuk pemulihan kesehatan termasuk dibuka kembali rekening yang diblokir
supaya dipakai untuk membiayai pengobatannya.
Kedua, Rapat membahas bahwa Lukas Enembe sudah lama menjadi pejabat; mulai dari
ASN, Wakil Bupati, Bupati dan Gubenur Papua dua periode. Beliau sudah memimpin dan
mengelola keuangan sejak lama. Selama ini tidak ada persoalan masalah keuangan. Jika ingin
memperbaiki soal keuangan, mengapa baru sekarang?
Ketiga, Rapat mendesak supaya penegakan hukum fokus pada dugaan gratifikasi dana 1
Milyar. Kasus dugaan gratifikasi 1 Milyar hanyalah pintu masuk untuk menahan Gubernur Papua.
Menolong Bapak Lukas Enembe berarti menolong semua pemimpin di Papua. Penanganan kasus
Lukas Enembe harus hati-hati dan penuh pertimbangan matang. **