JAYAPURA.PAPUA BARU.COM,- Ketua Umum Pendidikan dan Riset Kesehatan (YPRKES)Jayapura ,Drs. Wempi Aronggear,BSc,MSc.PH menyayangkan pergantian drg. Aloysius Giyai,MKes dari Direktur RSUD Jayapura, pasalnya di era kepemimpinannya, RSUD Jayapura mengalami perubahan.
“Secara kasat mata, rumah sakit rapi tertata dengan baik, penyegaran boleh saja, sedangkan dia dicopot itu salah, mereka tidak lihat karyanya yang nyata, dia hebat, dia rubah rumah sakit yang kumuh jadi bagusm dan sedang menata system pelayanan, ”ungkapnya kepada media ini via telepon selulernya,Minggu (22/8).
Dirinya melihat bahwa jubir Gubernur Papua, tidak professional dalam mengeluarkan statemen terkait dengan pergantian Aloysius Giyai.
“Dia lihat dari sisi mana, saya lihat dia (Jubir Gubernur Papua,red) hanya orang awam saja, tetapi dia tidak mengerti bahwa untuk menjadi rumah sakit tipe B dan pendidikan saja, kapasitas tempat tidur itu harus 500, sekarangkan masih 300 jadi tidak memenuhi syarat, kan saling berkaitan,”katanya.
Dikatakan, pembangunan infrastruktur yang dilakukan oleh Aloysius Giyai dalam rangka pemenuhan fasilitas, pelayanan kesehatan, sehingga jika pergantian direktur karena pembangunan infrastruktur, maka jubir gagal paham dalam memahami azas manfaat dari pelayanan kesehatan.
“Yang lebih penting itu bagaimana meningkatkan pelayanan prima rumah sakit, (sehingga) pelayanan standar nasional, terutama penggunaan kartu BPJS Kesehatan, ini saran saya dan juga setelah terjadi pergantian Direktur semogah RSUD Jayapura kedepannya akan memberikan pelayanan prima dan permanen kepada rakyatnya”. Ungkap Aronggear.
Lanjut Menurut Wempi, Pemerintah Provinsi Papua harus memikirkan rumah sakit khususnya untuk penanganan COVID-19, sehingga RSUD Jayapura diprioritaskan untuk pelayanan umum dan rumah sakit pendidikan. “Di Indonesia kan ada 5 tipe rumah sakit yakni kelas A, Kelas B, Kelas C, Kelas D, dan Kelas E (rumah sakit khusus,red),”imbuh Wempi.
Lanjut Wempi, rumah sakit khusus atau Kelas E, lebih spesifik dalam perawatan penyakit seperti kusta, paru, kanker hingga penyakit jantung.
“Pemda harus mencari lokasi atau menyewa hotel, yang dijadikan rumah sakit khusus yang menangani COVID, (sehingga) pasien dipindahkan dan dirawat disana. Agar RSUD Dok II (RSUD Jayapura,red) tidak boleh jadi rumah sakit COVID,”lanjutnya.
Dengan demikian, ujar Wempi, tidak ada tumpang tindih pelayanan, dan RSUD Jayapura lebih konsen dalam pelayanan, mengingat selama ini penegakan diagnosa penyakit COVID 19 kerap salah dilakukan.
“Orang sakit jantung, asma dan lainnya yang meninggal dikatakan COVID karena penyakit penyerta (Komorbid), ini kan salah harus dibedakan mana yang meninggal karena COVID, karena berpengaruh juga terhadap system pelaporan,”ujarnya.
Ditamnbahkan, menjadi penting sehingga tidak muncul opini di masyarakat yang multi tafsir. “Masyarakat kita tidak bisa dibodohi, karena masyarakat kan terdiri juga dari mereka yang punya disiplin ilmu, baik itu ilmu kesehatan, ilmu hukum, pemerintahan dan lainnya,”pungkasnya.(redaksi)**