JAYAPURA. PapuaBaru.Com,- Dengungan penolakan terhadap misi pemerintah pusat dalam melaksanakan pembangunan bandar antariksa yang dipusatkan di Wilayah Utara Kabupaten Biak Numfor, Provinsi Papua kian terdengar.
Forum Peduli Kawasa Biak (FPKB) dan masyarakat Biak, secara tegas menyatakan penolakan terhadap adanya bandar antariksa yang telah direncanakan pembangunannya mulai tahun depan.
Menurut Koordinator FPKB, Michael Awom, dukungan oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Biak Numfor menindaklanjuti rencana pembangunan bandar antariksa, dalam hal ini bupati, ketua DPRD dan beberapa oknum yang mengatas namakan kepala suku ataupun masyarakat adat adalah bersifat sepihak.
“Kegiatan ataupun pertemuan yang dijalankan oleh Pemkab Biak dan beberapa oknum lainnya di Jakarta, adalah kegiatan yang tanpa melibatkan masyarakat secara utuh, tanpa sosialisasi yang terbuka terkait untung rugi dari pembangunan bandar antariksa,” ungkap Michael ketika dikonfirmasi, Sabtu (13/3) kemarin.
Dijelaskan, penilaian terhadap pembangunan bandar antariksa akan mempunyai dampak, terutama terkait tentang lingkungan. Karena berbicara bandar antariksa itu lahannya luas, pastinya menimbulkan dampak terhadap masyarakat.
“Berkaitan dengan lapangan kerja, berbicara tentang antariksa maka orang yang nantinya bekerja itu bukan buruh bangunan. Yang bekerja di bidang antariksa adalah orang yang benar-benar membidangi bidang tersebut. Kalau dijadikan alasan bahwa orang Biak mendapat lapangan kerja adalah omong kosong, artinya menurut kami bahwa hal itu tidak masuk akal,” terang Michael.
Kata dia, berbicara bandar antariksa berarti berbicara tentang orang yang memiliki disiplin ilmu tertentu, tidak sembarang orang dapat dengan mudah bekerja di bidang antariksa.
“Yang berikut, kami mendukung penuh sikap yang diambil oleh Manfun Kawasa Byak, Bapak Mananwir Apolos Sroyer. Kami mendukung terkait penolakan pembangunan bandar antariksa. Tanpa bandar antariksa Biak tetap hidup, Biak tetap ada. Bandar antariksa tidak menjamin masa depan Biak, apalagi menyangkut lingkungan dan orang Biak kedepan nantinya seperti apa,” ucapnya.
Beranjak dari adanya pembangunan pusat pangkalan militer, lanjut Michael, hari ini orang Biak tidak mendapatkan apa-apa. Untuk itulah, pihaknya yang tergabung dalam FPKB dengan tegas menolak terkait apa yang dibuat oleh Pemkab Biak Numfor.
“Kami lebih mendukung bagaimana pemerintah daerah, dalam hal ini bupati, DPRD untuk lebih banyak mengembangkan sektor parawisata ataukah peningkatan SDM dan sektor-sektor penting lainnya. Kami bilang seperti itu karena yang kami lihat adalah bahwa pembangunan bandar antariksa akan membuat ketergantungan pemerintah terhadap investor, terutama hal ini keuangan,” ujarnya.
Ujar dia lanjut, bagaimana berbicara kesejahteraan dan pengembangan pembangunan kalau ada ketergantungan. Alangkah baiknya sektor-sektor penting seperti parawisata dan juga lainnya dibuka agar tidak bergantung, akan tetapi mandiri. Membuka kembali pabrik ikan, perhotelan berskala internasional seperti Hotel Marau dulunya.
“FPKB bersama mahasiswa asal Biak yang ada di Kota Jayapura dan juga beberapa mahasiswa di kota studi lainnya sudah saling berkoordinasi lewat seluler, sepakat menyatakan penolakan. Kami melihat bahwa yang dilakukan oleh Pemkab Biak Numfor sifatnya sepihak, tidak melakukan sosialisasi. Tidak menyampaikan ke publik bahwa hasilnya seperti apa, dampak positif dan negatifnya seperti apa,” beber Michael.
Sambung dia, terkait pernyataan Bupati Biak Numfor, Herry Ario Naap bahwa menindaklanjuti hasil pertemuan dengan pihak Lapan Pusat, Jumat kemarin di Jakarta, yaitu akan melakukan sosialisasi kepada masyarakat Biak terkait pembangunan bandar antariksa, bukanlah seperti itu. Dimana setelah melakukan pertemuan di Jakarta, barulah kemudian melakukan sosialisasi tentang dampak positif dan negatifnya.
“Agenda pembangunan bandar antariksa ini bukan baru. Agenda ini sudah lama sekali direncanakan oleh pemerintah, dan masyarakat adat sendiri sudah pernah tolak tapi mereka (Pemerintah, red) masuk lagi tentang hal yang sama. Kalaupun masyarakat adat menolak itu karena luas wilayah Kabupaten Biak Numfor itu kecil dengan jumlah penduduk yang banyak,” bilang Michael.
Dengan demikian, tambahnya, ketika tetap dibuat seperti itu, maka tanah-tanah adat milik orang Biak akan “dirampas” untuk dipakai. Apalagi yang gunakan bukan orang Indonesia, akan tetapi dikontrak atau dipakai oleh orang asing yang datang dari luar negeri.
“Pemerintah daerah, dalam hal ini bupati, DPRD tidak bisa mengambil keputusan sepihak. Yang harus dilakukan adalah membuka ruang, duduk bersama masyarakat lalu dengar apa yang masyarakat mau. Jangan ajak satu dua orang barulah mengatas namakan mananwir inilah, mananwir itulah,” tandas Michael.
Tambah dia lagi, mananwir-mananwir yang ikut ke Jakarta lalu tanda tangan memberi dukungan, menurutnya agar jangan ikut-ikutan, akan tetapi bertanya ke masyarakat adat setempat. Mengingat tanah yang diberikan oleh Tuhan lalu dititipkan kepada para leluhur atau moyang itu untuk dijaga, bukan diperjual belikan demi kelangsungan hidup anak cucu di masa sekarang dan yang akan datang. (Andy/Zes)