JAYAPURA. PapuaBaru.Com,- Upaya pemberian dukungan terhadap pembangunan bandar antariksa di wilayah utara Kabupaten Biak Numfor, Provinsi Papua dengan mengatas namakan rakyat, terutama masyarakat adat, adalah cara yang digunakan untuk memecah belah rakyat terkait adanya kepentingan-kepentingan pemerintah.
Hal tersebut disampaikan secara tegas oleh Manfun Kawasa Byak, Mananwir Apolos Sroyer ketika dikonfirmasi via seluler, Jumat (12/3) malam kemarin, menyikapi pernyataan Bupati Biak Numfor, Herry Ario Naap yang diberitakan pada beberapa media online nasional, usai menggelar pertemuan di Kantor Lapan Pusat, Rawamangun Jakarta Timur pada.
“Hasil sidang adat sudah diputuskan, terus siapa-siapa yang ikut (mengatas namakan adat, red) itu atas perintah siapa. Kami tidak pernah rapat untuk mengutus mereka, jadi itu oknum yang mengatas namakan adat. Kita (KKB, red) adat punya mekanisme, dan apa yang disampaikan adalah sesuai hasil sidang tahunan ke-4 di Anggopi,” bilang Mananwir Apolos.
Kata dia, selaku pemilik hak ulayat, yaitu marga atau suku Abrauw dengan tegas telah menyatakan untuk tidak menerima dengan adanya pembangunan tersebut (Bandar Antariksa, red) di atas tanah warisan peninggalan nenek moyang.
“Saya kira itu cara atau pola lama pemerintah yang selalu menghasut masyarakat, membawa ataupun menjustifikasi rakyat untuk kepentingan pemerintah, tanpa mereka (masyarakat adat, red) mengetahui secara baik bahwa pembangunan bandar antariksa itu seperti apa. Yang jelas masyarakat adat Bar Napa (Biak Utara, red) sudah menolak dalam sidang tahunan. Urus barang ini bukan di jalan, bukan di Jakarta karena itu salah,” terangnya tegas.
Yang dibicarakan, lanjut Mananwir Apolos, adalah hak-hak masyarakat adat. Pemerintah seharusnya mendengar masyarakat adat, bukannya memaksa masyarakat adat untuk harus dengar pemerintah.
“Persoalan pembangunan bandar antariksa belum didudukkan secara baik. Masyarakat pemilik hak ulayat yang sebenarnya tidak bicara, mereka yang ikut inikan masyarakat yang dimanfaatkan pemerintah,” ucapnya.
Dijelaskan, selaku pemimpin adat suku Byak, dirinya telah mendengar tentang keikut sertaan beberapa oknum yang mengatas namakan adat. Dan jelas oknum-oknum tersebut sendiri akan mempertanggung jawabkan apa yang sudah dilakukan, dalam artian masyarakat adat akan mempertanyakan keikut sertaan oknum-oknum yang mengatas namakan masyarakat adat.
“Menanggapi hal ini maka pasti kita akan lakukan pertemuan internal. Bukan pemerintah, tapi adat. Pemerintah jangan mengatas namakan adat, mengingat KKB (KainKain Karkara Byak) punya mekanisme. Bicara masalah hak ulayat maka harus duduk dalam musyawarah adat, bukan dengan membawa orang kesana kemari,” beber Mananwir Apolos bernada tegas.
Yang dilakukan pemerintah, tambah Panglima adat suku Byak ini, adalah cara lama. Dan cara-cara tersebut bukanlah cara yang rasional, mengingat yang dibicarakan adalah soal investasi dan divestasi.
“Posisi masyarakat adat dimana, itu pertama. Kedua, masalah-masalah pelanggaran HAM di Biak itu sudah diselesaikan atau belum. Ini persoalan-persoalan besar yang harus dilihat, bukan sekedar Biak siap atau tidak,” ujar Mananwir Apolos.
Persoalan besar, ujarnya menambahkan, seperti hak asasi manusia, hak-hak sosial, budaya dan otonomi yang harus dijamin sekaligus dilindungi. Dan ini yang harus dipikirkan dan dilakukan oleh Pemerintah, khususnya Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Biak Numfor.
“Atas rekomendasi siapa mereka mengatas namakan masyarakat adat lalu diikut sertakan dalam rombongan (Pemkab Biak Numfor, red) ke Jakarta. Kami tetap berdiri untuk hak-hak masyarakat adat, kami tidak alergi dengan barang itu (Bandar Antarikasa, red). Hanya cara-cara yang mengatas namakan masyarakat adat itu yang kami tidak terima, ada aturan atau mekanisme yang harus dilakukan. Pemerintah punya aturan, adat juga punya aturan,” pungkas Mananwir Apolos Sroyer.
Sementara itu, Marthen Abrauw selaku Mananwir Mnu sekaligus Mananwir Keret Sub Warbon saat dikonfirmasi, Sabtu (13/3) sore kemarin, dengan tegas menyampaikan bahwa dirinya sebagai pemilik hak ulayat bersama beberapa marga atau keret terkait lainnya tidak tahu dengan keberangkatan beberapa oknum yang mengatas namakan masyarakat adat mendampingi rombongan Pemkab Biak Numfor ke Jakarta.
“Kami belum pernah diajak untuk bertemu dengan mereka yang berangkat ini. Kami sama sekali tidak tahu dengan keberangkatan mereka, tujuan mereka apa. Masalah inikan sudah pernah kami tolak tahun 2018 lalu, selanjutnya kami tidak dengar sampai tiba-tiba muncul lagi,” ungkap Mananwir Marthen.
Dikatakan, pihaknya bersama suku atau keret lainnya selaku pemilik hak ulayat, dengan tegas menolak adanya pembangunan bandar antariksa. Tidak menerima, mengingat lokasi tersebut adalah tempat berkebun, tempat berburu dan tempat mencari demi kelangsungan hidup anak cucu.
“Komitmen kami adalah tetap menolak. Saya berbicara atas nama mananwir keret atau marga Abrauw, mananwir mnu warbon. Yang ikut mengatas namakan keret Abrauw ke Jakarta itu tidak betul, kami suku atau keret Abrauw belum pernah ikut dorang punya pertemuan. Tidak pernah diundang, selalu diabaikan,” bilang Mananwir Marthen.
Kata dia lagi, yang mengatas namakan masyarakat adat adalah beberapa mananwir di Bar Napa tanpa ada koordinasi ataupun kesepakatan dengan mananwir-mananwir lainnya.
“Masyarakat secara umum, dan pemilik hak ulayat khususnya, saat ini bertanya-tanya karena kaget tiba-tiba saja beberapa mananwir itu ada sama-sama dengan rombongan bapak bupati di Jakarta. Kami keluarga atau marga besar Abrauw menolak, begitu juga marga atau keret terkait lainnya. Yang ikut berangkat itu oknum-oknum saja, dan saat ini masyarakat ada tunggu mereka kembali,” ujarnya.
Menanggapi apa yang telah disampaikan oleh Pemkab Biak Numfor melalui bupati, Mananwir Marthen berharap kepada seluruh mananwir di pulau Biak dan juga yang ada di rantauan untuk bersama-sama memberi dukungan atas sikap penolakan yang dilakukan. (Zes/Andy)