SENTANI, tabloidpapuabaru.com,- Tokoh Adat Papua dari Wilayah Adat Tabi yang juga Ondofolo Kampung Sereh Yanto Khomlay Eluay menegaskan, bahwa aksi demo dari kelompok yang menamakan diri sebagai Petisi Rakyat Papua (PRP) yang menolak atau mencabut Otonomi Khusus (Otsus) Papua Jilid II dan juga menolak Daerah Otonomi Baru (DOB) di Papua, serta menggelar referendum itu tidak boleh dilakukan di atas wilayah adat Tabi.
Menurut Yanto Eluay, aksi demo tersebut dapat menimbulkan ketidaknyamanan bagi warga yang tinggal di wilayah adat Tabi khususnya di Kabupaten Jayapura.
“Terkait aksi demo yang akan dilakukan besok tanggal 3 Juni, kami selaku tokoh adat sudah pernah menyampaikan dengan tegas. Bahwa, di wilayah adat kami tidak boleh ada aksi-aksi atau kegiatan-kegiatan yang dapat menimbulkan ketidaknyamanan atau mengganggu aktivitas umum. Juga yang dapat mengakibatkan tidak kondusif atau terganggunya Kamtibmas,” kata Yanto Eluay ketika ditanya wartawan media online ini perihal aksi demo tersebut saat ditemui di Cafe The Hele Yo, Kampung Sereh Tua, Distrik Sentani, Kabupaten Jayapura, Kamis 2 Mei 2022.
“Kami pertegas lagi, wilayah adat kami wajib jaga, juga kami wajib bertanggung jawab agar wilayah adat kami tetap aman dan damai. Karena aman dan damai itu ciri-ciri kemajuan suatu daerah,” lanjutnya.
Sebab itu, tokoh-tokoh adat sudah berkomitmen demi kemajuan daerah, maka itu harus aman dan damai. “Jadi kepada saudara-saudara yang akan melakukan aksi-aksi harus memahami, bahwa kami dari tokoh-tokoh adat di wilayah adat Tabi khususnya di Kabupaten Jayapura juga sudah mendukung Otsus Jilid II yang sudah ditetapkan oleh pemerintah pusat, kami juga mendukung DOB yang sementara pembahasan di DPR RI, serta kami sudah menyampaikan komitmen bahwa Papua sudah final dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),” ujarnya.
Yanto Eluay pun mengatakan, aksi-aksi demo yang berhubungan dengan penolakan atau cabut Otsus Jilid II dan menolak DOB, serta menuntut agar segera melakukan referendum yang akan dilakukan dalam bentuk seruan aksi demo tanggal 3 Juni itu, pihaknya berharap agar tidak dilakukan diatas wilayah adat Tabi.
“Terkait Otsus ini adalah kebijakan dari pemerintah secara khusus untuk Papua demi kesejahteraan masyarakat Papua. Kemudian untuk menyangkut DOB, itu adalah peluang bagi adik-adik mahasiswa yang akan melakukan aksi demo besok. Kenapa di bilang ini peluang, karena kami sebagai tokoh-tokoh adat disini perlu mengingatkan kepada adik-adik mahasiswa yang juga bagian dari anak-anak adat,”.
“Dengan adanya DOB tersebut, membuka ruang atau lapangan kerja. Setelah selesai kuliah, mereka bisa mendaftar sebagai ASN atau melakukan aktivitas di aspek-aspek lain dalam mengisi roda pemerintahan,” katanya.
Yanto Eluay yang juga Ketua Umum Presidium Putra Putri Pejuang Pepera (P5) Provinsi Papua itu dengan tegas menyampaikan, tahun 1969 secara de jure itu Papua sudah final berintegrasi ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
“Sedangkan untuk tuntutan referendum, inikan berhubungan dengan status politik Papua. Secara tegas, kami sebagai anak-anak dari tokoh-tokoh Papua yang terlibat dalam Pepera di tahun 1969 yang juga selaku anggota dewan musyawarah Pepera itu, di tahun 1969 telah diputuskan dalam Pepera atau Penentuan Pendapat Rakyat, serta sudah dicatat oleh PBB dengan Pemerintah Indonesia soal Papua itu sudah final di tahun 1969,” tegasnya.
“Jadi sekitar 1.025 orang tokoh-tokoh Papua, yang ikut dalam musyawarah Pepera itu sudah memutuskan secara total bahwa Papua merupakan bagian daripada Negara Kesatuan Republik Indonesia dan juga sudah diakui dunia internasional,” sambungnya.
Satu hal menyangkut tuntutan-tuntutan yang berhubungan dengan status politik Papua, Ondo Yanto sapaan akrabnya itu juga menambahkan, dari 1.025 orang tokoh-tokoh Papua yang mewakili sekitar 800 ribu masyarakat Papua yang ikut dalam musyawarah Pepera saat itu di antaranya adalah tokoh-tokoh adat.
“Mereka adalah pemimpin-pemimpin masyarakat adat Papua atau Irian Barat saat itu. Di mana, mereka sebagai anggota dewan musyawarah Pepera itu sudah hadir mewakili masyarakat hukum adatnya dan mereka juga hadir dengan kewenangan atau otoritas atas wilayah adat masing-masing. Jadi saat mereka sudah memutuskan, bahwa Papua menjadi bagian daripada NKRI, itu secara otomatis mereka sudah menyerahkan masyarakat hukum adat Papua menjadi warga negara Republik Indonesia,” imbuh Ondofolo Besar di Wilayah Adat Tabi ini.
“Kemudian saat tokoh-tokoh adat telah memutuskan Papua menjadi bagian integral daripada NKRI, itu berarti mereka sudah menyerahkan wilayah adatnya menjadi wilayah kedaulatan Republik Indonesia, inilah yang perlu saya pertegas disini,” sambungnya.
Menurutnya, yang wajib berbicara dan mempunyai kewenangan untuk berbicara tentang status politik Papua adalah tokoh-tokoh adat. Dikarenakan, tokoh-tokoh adat yang memiliki kewenangan atas wilayah adat dan juga masyarakat hukum adat di Papua.
“Hal ini yang jarang sekali diketahui oleh mahasiswa. Bahwa, siapapun yang mau melakukan perjuangan tentang status politik Papua, entah itu mau berbicara tentang kemerdekaan Papua atau Papua mau memisahkan diri dari NKRI. Ya, selagi pimpinan-pimpinan atau tokoh-tokoh adat belum berbicara, maka itu kami minta agar di hentikan,” pintanya.
“Apakah itu dari faksi-faksi perjuangan, TPN/OPM, KNPB, Ormas-ormas yang sementara ini sedang getol tentang status politik Papua untuk segera berhenti. Karena di tahun 1969 itu tokoh-tokoh adat sudah memutuskan Papua menjadi bagian integral dari NKRI,” tukas putra dari mendiang dari Tokoh Papua Alm. Theys Hiyo Eluay itu diakhir wawancaranya. (ewako)*