JAYAPURA. PapuaBaru.Com, – Kekosongan kursi wakil bupati (Wabup) hingga memasuki tahun kedua (2019-2021, red), tepatnya pada 19 Maret yang akan datang, menambah daftar catatan buruk Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Biak Numfor Provinsi Papua. Dimana sebelumnya telah tercatat juga dalam lembaran sejarah pemerintahan, bahwasanya daerah yang dijuluki Kota “Karang Panas” ini telah dipimpin oleh tiga orang bupati dalam satu periode (2013-2018, red) yang lalu.
Hal tersebut diungkapkan Koordinator Gerakan Rakyat Anti Korupsi (GRAK) Papua, Mores Kbarek dalam rillis yang disampaikan via WhatsApp pada Media ini, Sabtu (6/3) kemarin. Menurut dia, kekosongan wakil bupati Biak Numfor hingga belakangan ini telah menjadi topik menarik warga masyarakat di media sosial.
“Masyarakat, politisi, akademisi, bahkan pejabat di lingkungan Pemerintah Provinsi Papuapun mempertanyakan kapan kekosongan wakil bupati Biak Numfor. Bagaimana tidak, sudah memasuki tahun kedua tapi kursi wabup belum juga terisi. Dan ini menjadi sejarah buruk pemerintahan dalam kepemimpinan saat ini,” bilang Mores dalam rillisnya.
Dijelaskan, sangat mengherankan mengingat kekosongan kursi wakil bupati ini terus dipertanyakan oleh berbagai elemen masyarakat tentang sejauh mana proses pengisian kursi orang nomor dua di Pemerintahan Biak Numfor, namun terkesan yang berwenang “bertelinga tebal” sehingga terjadi kekosongan hingga memasuki tahun kedua.
“Regulasi yang mengatur tentang pengisian kekosongan wakil bupati sudah jelas, salah satunya termuat dalam undang-undang nomor 10 tahun 2016 pasal 176 ayat 2 yang menyatakan bahwa partai politik atau gabungan partai politik pengusung mengusulkan dua orang calon wakil bupati kepada DPRD melalui bupati untuk dipilih dalam rapat paripurna DPRD,” jelasnya.
Sehingga, lanjut dia, jelas yang bertanggung jawab dalam mengisi kekosongan wakil bupati Biak Numfor adalah partai pengusung, dalam hal ini PDIP, Partai Golkar dan Partai Hanura, bupati dan DPRD. Namun faktanya, pada beberapa kesempatan, Bupati Biak Numfor, Herry Ario Naap menyampaikan bahwa hingga saat ini partai pengusung belum juga mengusulkan nama-nama hingga nantinya dipilih dua nama.
“Pada tahun 2020 kemarin, panitia khusus pemilihan (Pansuslih) wabup telah melakukan pendaftaran. Sedangkan pada 2 hingga 8 Oktober di tahun yang sama, partai pengusungpun melakukan pendaftaran kemudian menyatakan bahwa ada sebelas nama yang telah mendaftarkan diri sebagai calon wabup di partai koalisi dan telah termuat pada salah satu media online,” kisah Mores dalam rillisnya.
Setelah mendapatkan sebelas nama, sambung dia, partai pengusungpun (saat itu, red) meminta doa dan dukungan masyarakat untuk mendukung kerja partai koalisi dan juga dalam rapat internal pimpinan partai koalisi guna pengusulan dua nama kepada Bupati Biak Numfor, dan selanjutnya akan dibawa ke DPRD.
“Ada tiga nama yang terdaftar pada Pansuslih pada saat itu. Dua nama dari Partai Golkar, sementara satu nama lainnya dari PDIP. Dengan demikian, total ada empat belas nama yang menjadi bakal calon wabup. Dari empat belas nama tersebut, akan terpilih dua nama untuk diusulkan oleh bupati dan selanjutnya dipilih berdasarkan mekanisme rapat paripurna DPRD,” terangnya.
Lanjut Mores mewakili tiga teman lainnya, yakni Zother Berotabui, Kornelis Asaribab dan Adam Richo Rumpumbo yang juga adalah alumni Sekolah Anti Koropsi (SAKTI) bentukkan Indonesia Corruption Watch (ICW), sebelumnya Penjabat Sekda Papua, Doren Wakerkwa telah menyampaikan bahwa Pemerintah Provinsi Papua sudah menyurati Bupati Biak Numfor sebanyak empat kali namun belum direspon secara positif, maka disampaikan bahwa hal ini patut “dicurigai”.
“Menurut Penjabat Sekda Papua, pengisian jabatan wabup Biak Numfor dibawah kendali bupati karena selaku kepala daerah yang mempunyai hak mengendalikan sistem pemerintahan. Bupati itu pembina partai politik. Jika bupati tidak mendorong partai politik, dalam hal ini partai pengusung, maka prosesnya tidak berjalan,” ujarnya.
Dengan demikian, sambungnya lagi, respon sebagai masyarakat, pihaknya menilai bahwa telah terjadi pembohongan publik yang terus dilakukan dengan dalil dari pada masing-masing pemangku kepentingan.
“Kamipun bertanya-tanya apakah proses penjaringan bakal calon wabup, Pansuslih dan partai pengusung bekerja secara rahasia. Ataukah hasil penjaringan tidak disampaikan kepada bupati selaku Pembina partai politik sehingga belum ditentukan dua nama yang nantinya dipilih dalam rapat paripurna DPRD,” urai Mores.
Menurut dia juga, perlu sekali diperhatikan mengingat DPRD Biak Numfor telah membentuk pansuslih sebanyak dua kali dan telah dibubarkan karena hingga selesai masa kerjanya tidak membuahkan hasil apa-apa.
“Apakah perlu DPRD membentuk pansuslih untuk yang ketiga kalinya lagi ?. Inikan namanya pemborosan anggaran, karena setiap pansuslih yang terbentuk sudah pasti biaya operasionalnya dibebankan pada keuangan daerah (APBD, red), sedangkan dua kali pansuslih dibentuk dan dibubarkan namun tidak ada hasil yang maksimal,” terangnya lagi.
Jabatan wakil bupati, urainya lagi, sangatlah penting dalam menjalankan roda pemerintahan. Dan hal tersebut dijelaskan dalam pasal 66 undang nomor 23 tahun 2014, Jo undang-undang nomor 9 tahun 2015 tentang pemerintahan daerah. Peran wakil bupati sesungguhnya mempunyai kedudukan yang setara dengan bupati, terkecuali dalam penentuan “kebijakan”. Dan perlu diketahui dan diingat bahwa wakil bupati menjadi kebutuhan daerah, bukan sekedar jabatan.
“Kami mendorong DPRD Biak Numfor yang terkesan “tidak berfungsi” agar dapat “bersikap” tegas dengan mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai dasar dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya. Partai pengusung wajib diberi batas waktu pengisian jabatan wabup bilamana bakal calonnya lebih dari dua, sekaligus menanyakan kepada bupati mengapa belum ada dua nama yang belum diusulkan oleh partai pengusung, mengingat DPRD adalah lembaga pengawasan yang berfungsi mengawasi jalannya roda pemerintahan di daerah,” ungkap Mores jauh.
Pihaknya berharap, lanjut dia, pemerintah pusat, dalam hal ini menteri dalam negeri dan gubernur turut berperan lebih aktif karena pemerintah pusat selaku institusi yang berwenang melakukan pembinaan dan pengawasan secara umum dan teknis terhadap penyelenggaraan pemerintahan di daerah.
“Pemerintah pusat wajib menjamin agar penyelenggaraan urusan pemerintahan di daerah berjalan secara baik dan lancar demi terwujudnya tujuan negara, yaitu kesejahteraan masyarakat dengan menjamin kelengkapan pejabat pemerintah yang mengisi jabatan pemerintahan yang ada di daerah,” tandas alumni Sakti ini penuh harap.
Tambah dia, sangatlah perlu dan harus ada inisiatif yang baik dari bupati, partai pengusung dan semua elit politik agar dapat bekerja secara profesional. Meninggalkan egonya masing-masing agar dapat melaksanakan tahapan pengisian kekeosongan jabatan wakil bupati.
“Perlunya percepatan penyelenggaraan urusan pemerintahan dan kepentingan pelayanan pada masyarakat. Dan selanjutnya ditentukan melalui mekanisme rapat paripurna dewan agar posisi wabup segera dapat terisi, tidak terus berlarut-larut dan menjadi hingga meninggalkan sejarah buruk bagi Kabupaten Biak Numfor,” pungkasnya.(Andi/Zes)