Kawasan hutan mangrove di Teluk Youtefa, Kota Jayapura, Papua yang menjadi sumber kehidupan masyarakat kampung Enggros kondisinya kini pelan-pelan mulai terancam. Beberapa studi bahkan menemukan di sejumlah titik kawasan hutan mangrove Teluk Youtefa sudah terindikasi terjadi pencemaran. Ancaman sampah dan alih fungsi lahan untuk pembangunan terus mengerus luasan kawasan hutan ini.
Lantas seperti apa kondisinya saat ini, berikut reportase : Jhon Mampokem
************************************************************************************************************************************
JAYAPURA.- Matahari belum terbenam sempurna saat Petronela Merauje, Warga Kampung Enggros, Jayapura Papua merapikan tumpukan kayu mangrove kering. Tangannya terlihat cekatan mengumpulkan kayu yang berserakan di sekitarnya. Dengan waktu cepat, semua kayu mangrove kering yang tercecer sudah tersusun rapi.
Petronela adalah satu dari sekian banyak warga Kampung Enggros yang memanfaatkan hutan mangrove sebagai sumber kehidupan. Saban hari wanita separuh baya ini mencari ikan, kepiting, udang dan kayu kering di sepanjang kawasan mangrove di teluk Youtefa.
Bagi Petronela, hutan mangrove di kampungnya itu merupakan dapur bagi masyarakat. Mangrove memberikan kehidupan untuk masyarakat kampung Enggros dengan menyediakan kebutuhan pangan seperti ikan, kepiting, udang hingga kerang. Keberadaan hutan Mangrove adalah penyelamat kehidupan, mengingat kehidupan sehari-hari masyarakat kampung ini sangat bergantung kepada hutan mangrove.
“Bisa dikatakan hidup kami disini sangat bergantung pada hutan mangrove. Banyak sekali pemberian dari hutan mangrove ini, mulai ikan, kepiting hingga kerang,”ungkap Petronela saat ditemui di Teluk Cyberi,Kamis (4/11) 2021.
Menurut Petronela, kawasan hutan mangrove di kawasan teluk Youtefa bagi masyarakat di kampung Engross, sudah dianggap merupakan kawasan sakral yang dijaga turun temurun. Kawasan ini secara adat tidak boleh dirusak dan nodai. Hutan mangrove di kampung Engross ini dinamakan hutan perempuan lantaran banyak perempuan di kampung mencari kerang tanpa busana. Hutan Perempuan adalah nama hutan bakau yang keberadaannya tak bisa dipisahkan dari perempuan Enggros dan Tobati.
Kaum lelaki dilarang mendatangi kawasan ini. jika ada yang berani datang ke hutan itu ketika ada perempuan di dalamnya, maka ada sanksi adat. Dia harus membayar denda adat berupa manik-manik, barang berharga bagi warga Enggros yang mahal harganya.
”Hutan mangrove ini sesuatu yang sangat sakral. Sudah turun-temurun hutan ini biasanya akan disambut. Tapi kalau ada laki-laki yang mau dan hingga hari ini kami menjaganya. Perempuan yang masuk kawasan masuk kedalam hutan mangrove itu biasanya langsung dilarang dan tidak bisa sembarang. Batang pohon mangrove di sini pun hanya diijinkan untuk pakai jadi tiang rumah. Itu tradisi sudah dari nenek moyang sampai sekarang, jadi hutan mangrove buat kami sangat penting,”sebutnya.
Meski demikian, sepuluh tahun terakhir ini kata Petronela, keberadaan hutan Mangrove di kampung Engross pelan-pelan terlihat mulai terancam. Kehadiran Jembatan Merah Teluk Youtefa yang diharapkan dapat mendorong ekonomi masyarakat tanpa merusak lingkung justru berbeda. Ribuan pohon mangrove ditebang hanya untuk mempercepat pembangunan jembatan. Dibeberapa titik kawasan, keberadaan hutan mangrove terlihat sudah mulai hilang.
“Padahal dari kitong (kita) lahir, hutan mangrove ini sudah ada, Tuhan yang kasih. sekarang justru kita bongkar,”sesal Petronela.
Hutan Mangrove di Kota Jayapura, Papua terletak sepanjang pesisir pantai Hamadi, Kampung Tobati, sekitar Kampung Enggros hingga ke Holtekamp dan di sekitar Tanjung Resyuk menuju mata air Muri. Luas kawasan hutan mangrove di sepanjang pesisir ini mencapai 90,58 hektar.
Sebelumnya penelitian yang dilakukan Universitas Cenderawasih pada 1967 mengungkap luas hutan bakau di Teluk Youtefa ini mencapai 514,24 hektare. Luas kawasan mangrove berkurang hampir 40% pada 2014, menjadi 259,1 hektar. Lalu pada 2018, luas hutan mangrove hanya tersisa 233,12 hektare. Saat ini menyisakan kurang lebih 90 hektar.
“Saya berani katakan hampir 50 persen hutan mangrove di kampung engross tergerus karena dampak pembangunan,”kata mama lena begitu disapa.
Ancaman lain untuk kawasan hutan mangrove di kampung Enggros adalah pencemaran laut dan alih fungsi lahan untuk pemukiman. Letak pasar yang berada di pinggir pantai membuat kawasan hutan mangrove di teluk Youtefa selalu penuh dengan kiriman sampah. Beberapa biota laut seperti karang dan udang yang kerap menjadi sumber kehidupan masyarakat kampung Enggros mulai sulit ditemukan.
Hasil kajian Bapedalda Papua pada tahun 2007 lalu, bahkan sudah menemukan limbah cair maupun limbah padat sudah masuk di Teluk Youtefa. Penelitian Janviter Manalu dkk, dari Institut pertanian Bogor pada 2011, juga menyebutkan, perairan di Teluk Youtefa sudah masuk kategori tercemar ringan dan sedang. Untuk itu pemantauan kualitas air perairan Teluk Youtefa perlu dilakukan secara periodik dan disosialisasikan kepada masyarakat.
Pemerintah Daerah Papua dapat membantu menjaga kelestarian hutan mangrove di sepanjang teluk Youtefa. Membiarkan kerusakan kawasan hutan mangrove ini sama halnya membunuh sumber kehidupan masyarakat di kampung Engros.
“Kami berharap masalah ini bisa menjadi perhatian dari pemerintah. Apalagi kita pernah sama-sama dengan Dinas Kehutanan Provinsi melestarikan kawasan ini sebagai tempat wisata.”kata Roy Inggama, warga kampung Engros.
Menjaga kelestarian hutan mangrove di Teluk Youtefa, dapat dilakukan dengan menghijaukan kembali kawasan hutan mangrove yang hilang. Penanaman bibit mangrove harus menjadi program yang rutin dilakukan untuk menjaga keseimabangan hutan mangrove. Kebiasan menanam mangrove secara sporadis sebaiknya mulailah ditinggalkan.
“Kalau penanaman mangrove dikontrol dengan baik mungkin hasilnya saat ini sudah tumbuh baik dan banyak. ini banyak pihak peduli dengan menanam 1000 bibit tapi yang tumbuh hanya 300 pohon. Kenapa begitu, karena kita tidak kontrol,”tutur Roy.
Pencemaran Menjadi Ancaman
John D Kalor, Ketua Jurusan Ilmu Kelautan dan Perikanan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA), Universitas Cenderawasih, mengungkapkan dari hasil penelitiannya pada tahun 2018 ditemukan jika di beberapa lokasi di Teluk Youtefa sudah terkonfirmasi terjadi pencemaran dengan kadar ringan hingga sedang. Tampemawa dalam penelitian pada tahun 2020 bahkan mendapatkan logam berat, plumbum (Pb) dengan konsentrasi cukup tinggi ada pada beberapa titik di perairan Teluk Youtefa.
Padahal ada banyak jenis mangrove yang tumbuh di kawasan tersebut seperti dari genus Sonneratia yaitu Sonneratia ovata dan S. alba, Genus Rhizophora yaitu R. mucronata, R. apiculata dan R. stylosa. Genus Avicennia yaitu avicennia alba, Genus Xylocarpus yaitu Xylocarpus granatum dan genus Bruguiera yaitu Bruguiera gymnorrhiza dan B. cylindrica.
Tingkat kerapatan pohon mangrove di kawasan Teluk Youtefa ini bahkan diketahui memiliki tingkatan yang berbeda-beda setiap wilayah. Kerapatan mangrove di wilayah Enggros misalnya mencapai sekitar 1455,6 pohon per hektar, wilayah Nafri 1477,8 pohon per hektar dan wilayah Tobati 1033.5 pohon per hektar.
“Sementara untuk status kesehatan ekosistem mangrove sendiri berdasarkan tingkat kepadatan vegetasi masih tergolong sedang dan baik. Namun di beberapa titik memang sudah ditemukan pencemaran dengan kategori rendah,”kata Kalor.
Dari hasil penelitian, pencemaran di Teluk Youtefa berdampak pada keseimbangan ekologis beberapa biota laut dan sangat mengancam kelangsungan berbagai jenis ikan dan biota perairan lainnya. beberapa jenis kepiting yang biasa diketahui melimpah pelan-pelan sudah mulai menurun. Penelitian Wanimbo dkk pada tahun 2016 menyebutkan populasi Kerang Polymesoda erosa di kawasan ini bahkan mulai terancam dan menurun.
Tingkat keanekaragaman dan kelimpahan ikan pada perairan ekosistem mangrove di Teluk Youtefa juga mengalami penurunan. Semua itu disebabkan adanya kerusakan ekosistem, konversi ekosistem, dan pencemaran yang terjadi pada ekosistem mangrove.
“Penelitian ini hanya menemukan 12 spesies dan 10 famili ikan, dengan kelimpahan 188 individu/hektar yang hidup dan berasosiasi dengan perairan ekosistem mangrove Teluk Youtefa Kota Jayapura,”ujar Kalor,
“Untuk memulihkan sumber daya perikanan ini hanya bisa dilakukan dengan pemulihan ekosistem mangrove dengan cara meningkatan luas area ekosistem mangrove dan pengendalian sampah,”.
Menjadi Benteng Tsunami
Andre Liem, aktivis lingkungan di Jayapura, Papua mengatakan kawasan hutan mangrove di Teluk Youtefa sesungguhnya merupakan buffer zone yang sangat penting dalam melindungi area tersebut dari dampak negatif terutama acamanan dari bencana Tsunami, Apalagi sejarah mencatat, bencana Tsunami pernah beberapa kali menerjang pesisir Jayapura yaitu tahun 1952, 1960, 1970, 1998, terakhir terjadi tahun 2011. Gelombang sampai masuk hingga dalam Teluk Youtefa. Sedikitnya 20 rumah hancur di Desa Holtekamp, Enggros, dan Tobati akibat Tsunami yang dipicu oleh gempa besar dengan kekuatan 8,9 SR yang terjadi di Jepang pada tanggal 11 Maret 2011.
“Beruntung di beberapa titik kawasan mangrove memperkecil kekuatan gelombang. Jadi tidak berdampak besar. Jadi saat ini kita memang sudah harus mulai berfikir bagaimana menanam kembali Mangrove di Cyberi, Mendug, hingga pesisir pantai Holtekamp. Ini penting karena berhubungan dengan kelangsungan hidup warga kampung,”kata Andre.
Beberapa studi terkait mangrove di Teluk Youtefa mencatat, ekosistem mangrove di kawasan tersebut merupakan benteng alami yang sangat kokoh terhadap gempuran gelombang dan juga tsunami. Ekologi mangrove di kawasan ini berfungsi sebagai pelindung alami. Karenanya, penanaman kembali mangrove pada kawasan yang kosong menjadi penting dilakukan. Upaya penanaman mangrove yang dilakukan oleh banyak pihak secara sporadis dan tanpa pengawasan sudah mulai diubah. Selama ini tak sedikit bibit mangrove yang ditanam secara sporadis tidak tumbuh secara sempurna.
“Melibatkan pemilik hak ulayat dalam menanam kembali mangrove adalah langkah yang baik dan bisa menjadi semacam proteksi, sehingga tanaman mangrove bisa tumbuh secara baik. Apalagi rata-rata kawasan yang ada di sepanjang Holtekamp sudah dikelola pihak ketiga, dan tidak ada perhatian dari pemerintah.”ujar Andre sembari mengungkapkan kehadiran Jembatan Youtefa sesungguhnya bukanlah solusi, mengingat pembangunannya justru merusak kawasan hutan mangrove.
Sekretaris Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Provinsi Papua, Yan Richard Pugu,S.Hut,M.Si menuturkan bahwa berbicara tentang menjaga hutan mangrove, berarti harus ada upaya agar masyarakat dalam menjaga kawasan hutan mangrove juga mendapat manfaat.
“Dalam 3 tahun terakhir di kawasan mangrove di Teluk Youtefa, itu ada sarana namanya tracking wisata dalam kawasan mangrove di dekat Hanyaan Entrop, sebelum di tahun 2016 itu sudah dibangun juga tracking mangrove di kawasan yang bersebelahan dengan hutan perempuan,”tuturnya.
Selain berwisata, ujar Yan Pugu, masyarakat juga mendapat kenyamanan dalam melihat hutan mangrove yang terdiri dari berbagai jenis saat berkunjung.
“Harapan kita, ada aktivitas ekonomi, seperti jualan makanan dan minuman yang dilakukan oleh masyarakat yang dibeli oleh pengujung, artinya kita berharap pengunjung datang, masyarakat juga mendapat manfaat dari wisata hutan mangrove itu,”ujarnya.
Menyoal pencemaran lingkungank, Yan Pugu kembali membeberkan bahwa pihaknya bersama dengan salah satu komunitas yakni Rumah Bakau selalu intens melakukan pembersihan, seperti di muara sungai Hanyaan, yang sering men jadi tempat dimana orang membuat sampah.
“Kita sudah menggandeng komunitas-komunitas masyarakat seperti Rumah Bakau itu untuk kegiatan pembersihan tetapi juga kedepan jika ada pencemaran, otomatis salah satu bidang Di Dinas Kehutanan dan LH Provinsi Papua, yakni Bidang Penanggulangan Pencemaran melakukan pengecekan ke lapangan. Kalau misalnya ada hal-hal yang perlu untuk ditangani, seperti ambang batas kualitas air disana pasti kami akan cek,”bebernya.
Terkait tidak adanya solusi selain keberadaan jembatan Hamadi Holtekamp, Yan Pugu kembali menegaskan bahwa secara teknis perizinan dan lainnya sudah dipikirkan, sehingga jembatan tersebut bisa dibangun.
“Kalau ditanya tidak ada solusi, saya pikir ini memang bagian dari konsekuensi pembangunan, tetapi kita juga intens melakukan rehabilitasi di sepanjang jembatan merah (jembatan Hamadi Holtekamp) bagian kanan, beberapa waktu lalu, setempat bersama ibu-ibu dari Kementerian Pertahanan dan Persit, kita lakukan kegiatan untuk menahan abrasi, tentu dengan berkoordinasi dengan Dinas Lingkungan Hidup Kota Jayapura,”tegasnya.
Dalam rehabilitasi, pihaknya juga bersinergi dengan masyarakat pemilik hak ulayat, sehingga ada pemberdayaan dimana selalu melibatkan kelompok tani hutan yang sudah dibentuk oleh masyarakat untuk melakukan rehabilitasi.
“Kita punya kelompok-kelompok masyarakat yang membantu, misalnya untuk membantu polisi hutan (polhut), kami punya masyarakat mitra polhut yang selalu bersinergi dengan kami,”pungkasnya.***