“Komunitas Bersatu Untuk Kebenaran (BUK ) Sayangkan Tidak Ada Penyelesaian Adil, Benar, Bermartabat oleh Negara”
JAYAPURA.tabloidpapuabaru.com,- Komunitas Korban Hak Asasi Manusia di Biak Papua menyesalkan tidak adanya akuntabilitas pemerintah Indonesia dibawah kepemimpinan Presiden RI Joko Widodo atas kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu dan kasus-kasus terbaru yang terus berlangsung tanpa penyelesaian yang adil dan benar.
“Pada hari ini Rabu 6 Juli 2023 (25 Tahun) kami terus membacakan Doa, menyalakan lilin, menghambur bunga dan Terus menangis meratapi suami, istri, anak-anak dan saudara-saudari kami yang tiada hentinya di bunuh, diperkosa, dipenjara, dihilangkan dan dikejar sejak pendudukan Indonesia diatas tanah leluhur kami”. Ungkap Kordinator Bersatu Untuk Kebenaran Papua (United For Truth Papua), Tineke Rumkabu, Melalui Rilisnya yang diterima redaksi media online ini.
Disebutkan bahwa , Tragedi 6 juli 1998 telah meninggalkan pilu dan ingatan yang tak akan hilang secara turun temurun kepada anak cucunya, dimana suatu tindakan aparat Negara Indonesia yang tidak manusiawi kepada 1.000 orang warga sipil yang mempertahankan Bendera Bintang Fajar dibawah Menara Tower Air Biak pada jam lima subuh 6 juli 1998 itu.
Peristiwa 6 Juli 1998 telah mengakibatkan 8 orang meninggal, 3 orang hilang, 33 orang ditangkap sewenang-wenang, 150 orang mengalami penyiksaan, 32 orang mayat misterius dan ratusan orang kabur entah kemana jelas dilakukan oleh Negara secara kilat.
Tragedi 6 Juli 1998 ini telah melengkapi daftar panjang kasus-kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia yang jelas-jelas dilakukan oleh Negara dari waktu ke waktu terhadap rakyat bangsa Papua. Berikut catatan BUK Papua.
- Konflik Politik wilayah West Papua yang menjadi akar konflik di Papua
- Kasus Abepura berdarah, Kasus penculikan dan pembunuhan ondofolo Theis Hiyo Eluai, dan kaus-kasus lainnya dilakukan oleh negara
- Kasus Wamena Berdarah dan kasus-kasus lainnya dilakukan oleh negara
- Kasus Wasior Berdarah dan kasus-kasus lainnya dilakukan oleh negara
- Kasus Nabire, Kasus Paniai, Kasus pembunuhan Pdt. Yermias Sanambani, Kasus pembunuhan kepala suku Uakhele Giban, Arnold Lokbere, Kasus Pembunuhan Anak dibawah umur dan kasus-kasus lainnya dilakukan oleh Negara
- Kasus Victor Yeimo dan Kasus Rasisme
- Kasus Pembunuhan Musa Mako Tabuni,
- Kematian Misterius Aktivis dan Pejabat Orang Asli Papua
- Konflik Sumber Daya Alam Papua, Eksploitasi dan Eksplorasi Hak-hak Masyarakat Adat Papua, dilakukan oleh negara dari waktu ke waktu : PT. Freeport, MIFE di Merauke, BP di Bintuni, Kelapa Sawit, Blok Wabu dan kasus-kasus lainnya dilakukan oleh Negara.
- Konflik Ekosaid, Ekologi dan Genosaid semakin nyata dilakukan oleh Negara Indonesia secara sitematik, terrencana dan massif. Melalui kebijakan pemekaran Daerah Otonom Baru (DOB). Mengakibatkan arus Migrasi ke Tanah Papua secara besar-besaran telah menempatkan masyarakat adat Papua menjadi Minoritas di negeri leluhurnya, ini ditandai dengan konflik lahan, yang kesemuanya ini dilakukan oleh Pemerintah dan Negara Indonesia sebagai Aktor Pelanggar utama Haka Asasi Manusia di Tanah Papua.
- Dan kini Kasus Pengungsi 63,490 warga pengungsian di Ndugama (44.000), Puncak (2.724) Intan Jaya(5.859), Meibrat (4.684), Pegunungan Bintang (2.252), Yahukimo (1.971) dan Yapen Waropen akibat represi militer dan Polisi Indonesia.
Sudah 25 tahun (6 juli 1998 – 6 Juli 2023) ini, kami Meratapi dan merenungkan semua Peristiwa kejadiankejadian yang dilakukan oleh Negara Indonesia tanpa penyelesaian yang adil Berangkat dari kesemuanya ini.
“SEAKAN KAMI BINATANG” Apakah kami harus pergi dari negeri tempat kami?” atau Bagaimana?
Berimut Pernyataan 25 Tahun Tragedi Biak
- Mendorong Semua Pihak (Internasional, local Papua, kawasan dan Nasional Indonesia) untuk serius melaksanakan Statuta Roma 1998 dan Resolusi PBB tentang “Responsibility to protect and the prevention of genocide, war crimes, ethnic cleansing and crimes against humanity” ke Mahkamah Internasional terhadap pelanggar kejahatan harkat dan martabat manusia sebagai insan ciptaan Tuhan yang Mulia untuk hidup dan berkembang di Papua tanah leluhur kita.
- Menolak dan menghindarkan diri dari upaya pemerintah Negara Indonesia atas kebijakan penyelesaian peristiwa pelanggaran Hak Asasi Manusia Masa lalu dengan pendekatan Non Yudisial,
- Mendorong kelembagaan culture Masyarakat Adat Papua (Dewan Adat Papua) sebagai lembaga representasi masyarakat adat Papua untuk menyelenggarakan Hukum peradilan Adat bagi pelanggar kejahatan atas hak-hak Sumber Daya Alam Papua yang di caplok oleh Negara.
Menyelamatkan “Tanah Papua” menjadi Surga bagi nasib masa depan anak cucu kami.
- Mendorong masyarakat sipil Papua dan Gerakan Solidaritas Internasional untuk terus peduli dan membantu warga pengungsi, Perempuan, anak dan laki-laki akibat konflik bersenjata/politik di tanah Papua, serta mendorong perundingan yang berartabat.***