Oleh, Jahya Lourentz Marasian, SE
Sebuah pemikiran konstruktif yang diangkat untuk memberi pemahaman kepada setiap manusia, baik secara person, secara lembaga, kelompok masyarakat hukum adat dan publik umumnya untuk menelah substansi, mengapa pemerintah lambat membangun Orang Asli Papua dalam konteks masyarakat hukum adat di Papua dan Kabupaten Jayapura khususnya.
Masyarakat adat di seantero Tanah Papua, secara khusus di Kabupaten Jayapura memiliki sejarah buruk dengan Negara dan pemerintahnya diawal 1969. Konkritnya adalah penerapan sistem perencanaan pembangunan yang sentralisasi, masuknya Desa dalam tatanan kampung-kampung asli di Wilayah Kabupaten Jayapura kala itu meliputi Kota Jayapura, Keerom, Sarmi dan Mamberamo dan menggeser nilai kearifan budaya, transmigrasi didatangkan secara sepihak.
Kenyataan lain juga menceritakan bahwa kekayaan alam milik masyarakat adat di eksploitasi atas nama Negara oleh para penguasa, lahan-lahan masyarakat adat dicaplok dan klaim para penguasa atas nama negara, Masyarakat hidup dalam intimidasi kekuasaan, bahkan negera melalui kekuatan meiliter turut melumpuhkan otoritas adat dalam kurun waktu yang tak sedikit. Masyarakat adat mengalami krisis identitas akibat otoriter Negara yang berlebihan, menginterfensi wilayah budaya, menghancurkan sendi-sendi sosial serta memutuskan sistem kekerabatan masyarakat budaya sejak masa orde lama hingga orde baru berkuasa.
Masyarakat adat berpandang bahwa Negara hadir dalam ruang lingkupnya mengandung misi politik dan sarat kepentingan terhadap penguasaan sumber daya alam. Pandangan tersebut tumbuh dan berakar dari generasi ke generasi hingga saat ini’ Akibat situasi kelam tersebut, masyarakat adat menaru krisis kepercayaan terhadap Negara dan hilang rasa simpatinya terhadap pemerintah dalam kurung waktu yang tak sedikit pula.
Hadirnya reformasi hanya mengubah kesing, namun tak mengubah sifat juga sikap. Rezim orde lama dan orde baru masih terlihat secara otomat dan dipraktekan secara massif oleh Jakarta dalam berbagai kebijakan terhadap Papua dengan berbagai dalil. Otonomi Khusus Papua yang digulirkan sebagai solusi juga jalan tengah membangun Papua yang fundamental, malah menimbulkan masalah baru dan Jakarta terkesan lepas tangan. Otsus Papua telah menimbulkan polemik adu domba, mempertontonkan kemiskinan yang makin ekstrim dan kesenjangan sosial yang terus menajam. Otsus Melahirkan pemekaran dimana-dimana hanya untuk menutupi tabiat busuk Jakarta dan para penguasanya.
Pemerintah Kabupaten Jayapura, melaui kepemimpinan Bupati Mathius Awoitauw, memahami poersoalan Papua dalam konteks negara dengan bijaksana dan berwibawa, hendaknya Negara seyogyanya mempertimbangkan gagasan tersebut dalam mencari pola membangun Papua yang manusiawi. Masyarakat adat Papua adalah Orang Asli Papua (OAP) yang sedang dalam sakit parah. Terlepas dari pembangunan infrastruktur, ketahan manusia Papua dalam jangka panjang butuh strategi dan penanganan serius pemerintah dan penguasa Negara, pertumbuhan dan pengembangan jiwa Orang Asli Papua harus di jamin keberlangsunggannya.
Fakta tersebut terus di debatkan berbagai kalangan dari kampung-kampung, masyarakat intelektual di daerah, aktivitas nasional hingga manca Negara. Dalam rangka itulah Bupati Mathius Awoitauw melalui visi misinya menyodorkan sebuah gagasan sekaligus menawarkan solusi bagi pusat, bahwa Papua tidak dapat dibangun dengan cara apapun, dalam bentuk apapun dan oleh siappun karena semua itu hanyalah usaha kesia-siaan dan hanya akan memperburuk situasi lalu melahirkan konflik yang semakin panjang dan menyengsarakan Orang Asli Papua ataupun masyarakat hukum adat diatas wilayahnya.
Orang Asli Papua hanya bisa dibangun melalui caranya sendiri. Yaitu melalui jalan budaya, seperti yang digumuli para konseptor dalam Undang Undang Otonomi Khusus Papua, yang semestinya Jakarta hormati dan ikut dorong dan awasi pelaksanaan amanat Otsus tersebut secara konsisten tanpa intervensi yang berlebihan. Pejabat di seantero Tanah Papua mesti mampu menginterpretasikan hal-hal substansi dari Otsus secara arif dan bijaksana, terkonsep, terukur, nyata dan dapat dipertanggung jawabkan kepada multi pihak yang selama ini prihatin. Bukan asal menghabiskan anggaran lalu biarkan rakyat bergelut sendiri dengan deritanya.(daniel).**