BIAK .PAPUA BARU.COM,- Para Pemuda dari 6 kampung di Distrik Biak Utara melaksanakan demonstrasi menyambut kedatangan Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan rombongan yang melakukan survey lokasi pembanguanan bandara antariksa yang berlokasi di Kampung Saukobye, Distrik Biak Utara pada 21 Oktober lalu, meskipun Pemerintah Kabupaten Biak Numfor sudah menyetujui pembangunan tersebut dan sudah melakukan pertemuan dengan seluruh lapisan masyarakat namun hal tersebut tidak meluluhkan hati masyarakat Biak Utara.
Lokasi pembangunan bandara antariksa sejatinya merupakan tempat dimana masyarakat mengantung hidupnya dengan berkebun hingga berburu hewan buruan, tak tangung-tangung masyarakat menyatakan tetap konsisten menolak pembangunan bandara antariksa tersebut.
Pemuda/i yang berasal dari 6 Kampung di Korem, Biak Utara memblokade akses masuk ke lokasi tersebut, meski akhirnya dibuka setelah aparat keamanan menjamin tim BRIN tidak lama dilokasi, hanya mengecek sebentar saja.
“Selamat sore, kami pemuda dari 6 kampung yang ada di Korem, hari ini (Kamis,red) adakan pemalangan terhadap tim BRIN yang datang tanpa sepengetahuan masyarakat Korem dan kami melakukan aksi untuk yang datang hari ini, karena kami tahu tanah disini tanah adat, bukan tanah LAPAN, kami minta dengan tegas kepada Bupati Biak Numfor untuk menghargai hak-hak dasar masyarat adat,”ungkap perwakilan pemuda/i 6 Kampung di Korem, Biak utara, Alex Abrauw kepada media ini.
Dikatakan, aksi yang dilakukan oleh pihaknya merupakan rangkaian dari aksi sebelumnya yang pada prinsipnya tetap pada keputusan untuk menolak pembangunan bandara antariksa di tempat lokasi jalan pantai wisata Warbo Back, Kampung Saukobye Distrik Biak Utara.
“Kami berbicara untuk kepentingan anak cucu kami, kami tidak ada kepentingan politik, ini kepentingan masa depan anak cucu kami, kami minta tadi Ketua DPRD yang ikut rombongan, ibu sebagai wakil rakyat yang seharusnya mendengar langsung suara-suara masyarakat akar rumput yang kecil yang ada di Korem hari ini,”katanya.
Menurut Alex, pihaknya sama sekali tidak setuju, dengan apa yang sedang diperjuangkan oleh Pemerintah Kabupaten Biak Numfor.”Kami tidak makan LAPAN, kami makan keladi dan itu sudah turun temurun dan lokasi yang sengaja dibangun itu, kan sudah jelas bahwa disitu banyak kebun sirih, kebun keladi, kebun kelapa, jadi kalau namanya tim datang kenapa tidak ijinkan kami bicara. Tentara dan polisi sampaikan harus buka karena tim punya waktu sebentar saja,”imbuhnya.
Dirinya menyebutkan masyarakat pemilik hak ulayat tetap meminta kepada Bupati Biak Numfor untuk mendengar aspirasi yang disampaikan. Dimana masalah penolakan pembangunan bandara antariksa ini tidak hanya menjadi isu daerah, tetapi sudah mendunia, sehingga diharapkan Bupati Biak Numfor harus mempunyai hati untuk melihat kondisi yang terjadi
sebenarnya.
“Kitong ini hidup dari hutan ini, bikin jerat di hutan ini, hidup makan di hutan ini, bukan tinggal di Jayapura, Manokwari, baru datang kesini, kami (mau) makan babi, bikin jerat di kebun sana, di lokasi itu dan disini kami sampaikan bukan hanya satu marga, saya mau kasih tahu disini ada marga Abrauw, Wabiser, Kapitarauw, Dimara, Arwam, Rumaikew, ada marga Imbiri juga,”sebutnya.
Pihaknya juga menyayangkan minim informasi terhadap kedatangan tim dari BRIN, bahkan terkesan seperti pencuri yang masuk ke kebun orang,dinamika yang berkembang dinilai sangat dipaksakan, mengingat Dewan Adat Byak telah melakukan rapat adat yang mana menolak dengan tegas pembangunan bandara antariksa tersebut.
Sementara itu, perwakilan lainnya, Welmina Kapitarauw menjelaskan bahwa pihaknya berbicara untuk masa depan generasi penerus di Biak Utara, pihaknya kesal dengan kedatangan tim BRIN, mengingat tanah tersebut masih berstatus tanah adat, sehingga apapun yang dilakukan harus berkoordinasi dengan pemilik hak ulayat.
“Mereka ini tidak minta ijin atau ketuk pintu, pamit sama yang punya hak ulayat, jangan masuk seperti pencuri karena tanah ini kami kerja dan makan dari sini, kami hidup dari keladi, kasbi, petatas bukan kami makan satelit, oleh sebab itu kami menolak untuk pembangunan bandara antariksa di lokasi yang selama ini kami cari makan. Kami minta kiranya bapak bupati bisa melihat hal ini dan datang untuk bersama duduk bicara dengan kami, jangan undang tim kemudian mereka masuk seperti pencuri ke area kami,”jelasnya.
Welmina menyebutkan persoalan tersebut sudah diserahkan kepada Dewan Adat untuk proses lebih lanjut, dimana pada waktu ketika itu para orang tua menjual, sehingga pihaknya sepakat untuk mengembalikan uang negara sebesar Rp. 15 juta.”Kami tidak mau tanah kami dijual, kami minta tanah kami kembali dan kami berkebun seperti biasa, itu yang kami harapkan untuk bapak bupati, kami tidak minta apa-apa kami minta tanah kami dikembalikan agar kami bisa bercocok tanam kembali di kami punya tanah,”sebutnya.
Senada dengan itu, Pemuda lainnya, Yansius Kapitarauw mengharapkan kepada Bupati Biak Numfor untuk bisa menjelaskan kepada pemilik hak ulayat di tanah yang akan dibangun bandara antariksa.”Saya minta supaya bapak bupati datang untuk bicara dengan kami di Korem sini,”pungkasnya.
Hal senada juga disampaikan oleh Stevan Wabiser bahwa, pemerintah Kabupaten Biak Numfor jangan asal menyuruh orang untuk datang ke lokasi dan mengatakan lokasi tersebut suda dibayarkan.”kami menolak dengan keras, kami tidak mau lokasi tanah kami dibangun bandara satelit, karena tidak memberikan dampak baik bagi kehidupan kami, dirinya bahkan mencontohkan perusahaan raksasa PT.Freeport yang sampai hari ini beroperasi di tanah adat suku amume dan kamoro tetapi tidak memperhatikan masyarakat asli pemilik hak ulayat itu dengan baik. ïntinya kami masyarakat menolak dengan tegas rencana pembangunan bandara Satelit diatas tanah kami,”tegasnya.(Yan)