JAYAPURA. PapuaBaru.Com, – 59 tahun sudah eksistensi Yayasan Pendidikan Kristen (YPK) di tanah Papua, yaitu dengan memberikan bimbingan, bantuan serta pertolongan kepada anak-anak didik, membentuk menjadi manusia-manusia yang takut akan Tuhan.
Demikian diungkapkan Wakil Ketua BP Klasis GKI Kota Jayapura, Drs. Pnt. Marthen Tanati, M. Pd mensyukuri dan memaknai HUT YPK ke-59, Senin (8/3) pekan ini.
Sebagai seorang pembimbing, kata dia, tugas seorang guru itu berat karena mengubah yang tidak bisa menjadi bisa.
“Saya mengistilahkan mengubah batu menjadi batu akik, mengubah batu menjadi emas. Hal-hal yang tidak bisa, seorang guru mampu untuk mengubahnya. Hanya saja yang menjadi kesulitan kita hingga saat ini adalah perhatian kepada sekolah, terkadang ada yang tidak memahami alurnya secara baik,” ucapnya.
Menurut Marthen, ada terjadi mis komunikasi dengan memahami alurnya secara baik. Sejauh ini dirinya telah mengusulkan berulang-ulang kali agar bantuan-bantuan kepada YPK tidak diberikan secara langsung karena kesulitan dalam mengontrol.
“Sebagai wakil ketua klasis saya sangat sulit untuk mengontrol, terkadang kami tidak tahu. Nanti ketika ada raker dari gereja, dilaporkan oleh yayasan misalnya. Kami kaget informasinya dari mana, sedangkan komunikasi tidak dijalankan baik. Kami menginformasikan, dan ini perintah serta keputusan gereja bahwa 4% dari 40% oleh gereja dikeluarkan untuk menopang YPK,” terangnya.
Lanjut dia, Klasis Kota Jayapura (Port Numbay, red), memutuskan melakukan demikian. Untuk sekolah-sekolah yang membawa nama gereja setempat, maka gereja tersebut tidak diberi tanggung jawab memberikan 4%. Hanya bagi mereka (Gereja, red) yang tidak memiliki sekolah YPK dalam penjemaatannya yang memberikan 4%.
“Tapi 4% ini dikemanakan, nomor rekening sudah ada. Nomor rekening sudah tapi tidak ada laporan ke kita, laporan ke klasis. Kami tidak bisa kontrol, dan inilah mis komunikasi. Kami bicara keras pada jemaat untuk wajib 4%. Kalau misalnya dua puluh juta, berarti yang disetor oleh jemaat itu delapan ratus ribu. 4% itu 0,04, bukan 0,04,” urai Marthen menerangkan.
Lebih jauh dijelaskan, kalau dihitung ada 48 jemaat yang dikurangi dengan 12 sekolah YPK, misalkan 36 x 800 ribu maka 28 juta mestinya yang disetor setiap bulan. Namun alat yang digunakan hingga saat ini untuk mengontrol itu apa, tidak jelas. Alat kontrolnya dari bank, yaitu slip setoran.
“Harapan kami adalah, saya minta kepada PSW untuk marilah kita duduk sama-sama lalu bicara mencari solusi. Tidak hanya bicara dan mempertahankan diri. YPK bilang begini, sinode dan klasis bilang begini. Menurut saya tidak seperti itu, yang benar itu kita duduk sama-sama, kita bicara dan cari solusi,” bilang Marthen penuh harap.
Sambungnya, YPK tidak bisa perintah klasis. Akan tetapi bangun komuniasi, sebab YPK adalah anak kandung gereja. Pertanyaannya adalah anak kandung seperti apa, karena YPK dibina oleh dua gereja, GKI dan GPM (sekarang GPI, red).
“Seperti apa kita bangun komunikasi, mau anak kandung bagaimana karena pasti GPI (Gereja Protestan Indonesia) juga mengatakan hal yang sama bahwa YPK adalah anak kandungnya juga. Jadi anak kandung seperti apa. Dulunya ada tiga dengan Baptis atau Bethel, tapi sudah keluar,” ujar Marthen.
Kalau GKI dengan GPI, ujarnya menambahkan, maka bagaimana cara mengaturnya. Anggaran dasar sudah ada , akan tetapi siapa perintah siapa. Hal inilah yang perlu dibangun secara bersama-sama agar tidak terjadi mis komunikasi.
“Yah kalau begitu kita rubah saja YPK jadi negeri, bukan begitu. Itu hal yang pertama. Yang kedua, kita YPK, tapi penerapan kurikulumnya masih nasional. Tidak ada penerapan kurikulum khusus yang kelihatan disana pendidikan kristennya, belum nampak,” tuturnya.
Tambah dia, di sekolah-sekolah YPK, pendidikan khusus hanya pelajaran agama. Tapi menyanyi nyanyian Rohani, baca Alkitab dan melakukan ibadah khusus apakah ada dilakukan. Kalau dilakukan maka sekolah tersebut akan kekurangan jam tentang kurikulum itu sendiri, kekurangan jam mengajar.
“Kita YPK masih termasuk sekolah formal yang ditangani oleh gereja, oleh yayasan. Kita belum menjadi sekolah yang pembinanya seperti waktu zending, hari senin itu ibadah toh, sesudah itu hanya satu dua mata pelajaran saja untuk mengimbangi. Nah ini yang belum kita bicarakan baik,” sahut Marthen.
Menanggapi penerapan ilmu pada sekolah-sekolah Pesantren (Pendidikan Islam, red) yang menerapkan tata ibadah, diakuinya bahwa YPK belum melakukan itu. Sehingga langkah-langkah yang harus dilakukan adalah duduk bersama, berbicara dan melakukan evaluasi terkait apa yang sudah dikerjakan.
“Teman-teman dari Depag menginginkan agar YPK itu bisa melaksanakan apa yang diinginkan, tapi kesulitan. Sehingga mereka minta kalau boleh kami mendirikan satu sekolah Kristen yang bernaung dibawah departemen agama (Depag),” tandasnya.
YPK, bilang dia, tidak bernaung di bawah Depag makanya selama ini tidak mendapatkan bantuan. Yang mendapatkan bantuan hanya sekolah Madrasah karena itu sekolah agama. YPK dibilang sekolah agama, akan tetapi penerapan kurikulumnya secara nasional.
“Ini yang harus kita percakapkan, satu-satunya jalan adalah merubah pandangan kita tentang kurikulum yang hendak diterapkan. Satu jalannya itu, agar kita sama dengan teman-teman yang ada di Yayasan Katholik. Meskipun penerapan kurikulumnya juga secara nasional, karena yang dikejar itu kelulusan. Tapi kita kembali ke zaman zending itu,” kata Marthen.
Disinggung terkait penerapan hari sabtu untuk kegiatan ektra kokurikuler, diakuinya juga bahwa benar bahwa kebanyakan kegiatan ektra dilakukan pada hari tersebut, dan itu sudah menjadi kebiasaan dari banyak anak.
“Strateginya, yang tiga tahun pertama itu kita kasi lewat baru masuk dengan aturan baru. Atau kegiatannya tetap dilaksanakan hari senin, upacara lalu masuk peribadahan, sehingga hari sabtu tetap digunakan untuk belajar maka mau tidak amau anak harus datang ke sekolah,” beber Marthen.
Tapi kalau di pesantren atau madrasah, sambung dia, waktu belajarnya hanya sampai hari jumat saja, tapi penerapan pendidikan agamanya tetap. Jumlah jam yang dikurangi, itu berarti kerja ekstra dari guru.
“Tidak adanya waktu beribadah itu yang terjadi. Oleh sebab itu, jumlah jam kita pada hari-hari sebelum hari sabtu itu yang ditingkatkan baik. Tapi kalau hari senin kita mau untuk bentuk anak, wajib, maka itu yang harus kita buat. Tapi cara kita adalah cara mengikut Yesus, yaitu melakukan itu di dalam kasih,” terangnya.
Tambah Marthen lagi, agar bisa seperti yang ada di yayasan lainnya, perlu sekali duduk bersama-sama untuk berbicara. Tidak bisa menggunakan logika sendiri, tapi bagaimana melibatkan orang-orang yang terbiasa dengan pendidikan. Duduk bersama saling berbincang, langkah apa yang harus dibuat dan pemantapan kerja bagi guru perlu dilakukan. “Memang kerja guru tidak mudah, sangat-sangatlah berat. Saya tidak bisa memerintah, saya mesti memberi petunjuk, itu baru bisa. Ini pengalaman saya sebagai guru. Jadi kalau saya cuma bicara tapi tidak dilaksanakan di lapangan maka sama saja. Saya mesti melatih orang, saya datang lihat apakah dilaksanakan atau tidak. Itu yang namanya pementapan kerja bagi tenaga pendidik, pungkasnya. (Tim)